Translate

Senin, 28 Oktober 2024

Motif Hias Non-geometeris : Motif Benda Alam, Pemandangan, Benda Teknologi, Kaligrafi, Jalinan dan Abstrak

                        1.     Motif Benda Alam dan Pemandangan

a.      Motif matahari, bulan dan bintang
Motif matahari di suku Toraja berbentuk lingkaran dengan garis-garis disekelilingnya yang ditempatkan diatas. Melambangkan kehidupan manusia yang bersumber pada Tuhan pencipta alam.
Kerajaan Majapahit juga menggunakan motif matahari sebagai lambang kerajaan yang disebut sinar surya Majapahit.
Motif bulan dikaitkan dengan kecantikan dan lambang asmara. Motif bintang diguakan sejak zaman pra-sejarah  untuk menghias nekara yang pada bagian tengahnya dihias motif bintang (Sunaryo, 2006:58).
b.     Motif awan dan bukit bebatuan
Motif awan dikembangkan dari motif meander, ada pula motif hias khas Cirebon mega-mendung yang menggambarkan awan yang berbentuk raut jajar genjang/belah ketupat horizontal dengan kontur bergelombang.
Selain itu juga terdapat motif serupa yang digambarkan secara vertical yang menggambarkan bukit bebatuan yang diberi nama wadasan.
Motif hias gunung umumnya berbentuk lengkungan bergelombang yang membentuk segitiga (Sunaryo, 2006:58). Di kota Salatiga ada motif yang menggambarkan batu disebut dengan motif plumpungan.
c.      Motif api dan air
Api merupakan benda yang penting bagi manusia, motif api (lidah api) dipandang sebagai sumber kehidupan, semangat hidup, dan kesaktian, dan jika dikuasai api hidup adalah nafsu dan kejahatan. Sedangkan motif hias air umumnya merupakan bagian dai motif pemandangan.
Dalam batik,motif hias api digubah menjadi motif cemukiran (lidah api), missal pada batik cuwiri, semen rama dan lain sebagainya,
Motif hias api digunakan sebagai pengisi motif tumpal, juga digunkan pada arca yang melambangkan tokoh suci yang digambar dengan praba.
Motif air relatif jarang dijumpai, misal dalam isian ombak air (isen-isen ombak banyu). Motif hias air pada umumya merupakan bagian dari motif pemandangan (Sunaryo, 2006:59).
d.     Motif pemandangan
Motif pemandangan merupakan gabungan dari beberapa motif yang membentuk sebuah keseluruhan atas penggambaran keaadaan alam. Di dalamnya mungkin terdiridari motif gunung, bukit karang, air/telaga, tanaman, awan aneka satwa dan sebagainya (Sunaryo, 2006:59). 
2.      Motif Benda Teknologis, Kaligrafi, dan Abstrak
a.      Motif benda teknologis
Motif benda teknologis antara lain, motif tembikar sering ditemukan di pahatkan di relief candi, alat musik dan gamelan juga dapat ditemukan di relief candi.
Motif perahu telah ada sejak zaman pra-sejarah sebagai subek dalam lukisan dinding gua. Bahkan nekara perunggu juga bermotif perahu. Pada candi Borobudhur penggambaran motif hias perahu sangat realistis sehingga dapat diketahui bentuk prototype perahu zaman dahulu.
Selain itu di Lampung motif hias perahu sebagia lambang perjalanan ke alam baka.
Motif hias benda teknologis yang lain adalah beragam bentuk bangunan yang ditemukan direlief candi, antara lain berbentuk candi, rumah pangguang, meru, gapura dan lain sebagainya (Sunaryo, 2006:63).
b.     Motif kaligrafi dan jalinan
Motif kaligrafi yang tertua banyak ditemui di batu-batu nisan pada abad ke-12. Selain ditemukan huruf Jawa kuno juga ditemukan huruf arab sebagai ornamennya. Ornament kaligrafi Arab kemudian berkembang dan diterapkan pada dinding dalam masjid, mihrab, dinding luar masjid dan gapura.
Motif jalinan yang membentuk sulur tanaman, atu terbentuk dari motif kaligrafi dikenal dengan motif arabes (Sunaryo, 2006:64).
c.      Motif abstrak
Dalam batik pada umumnya mengambil tema alam yang lama-kelamaan diabstrakkan dalam gubahan bentuknya, sejalan dengan gubahan estetika yang tidak lagi dikenali bentuk asalnya. Misalnya motif batik kapal kandas, kita tidak dapat menemukan motih kapal pada batik tersebut atau motif parang rusak sulit dikenali bentuknya sebagai senjata parang atau batu karang. 
 Pada ornament bilah keris, motifnya seringkali abstrak. Pamor beras wutah, blarak sineret, banyu mambeg dan lain sebagainya merupakan motif abstrak yang kemudian diasosiasikan dengan obyek-obyek tertentu (Sunaryo, 2006:64).

 


Daftar Pustaka :
1. Sunaryo, Aryo. 2007. Ornamen Nusantara. Semarang : Jurusan Seni Rupa UNNES
2. Gambar diolah dari berbagai sumber.

Motif Hias Non-geometris : Figuratif (Manusia)

1.      Motif Manusia
Sebagai penggambaran nenek moyang, terkait dengan pemujaan leluhur dan dimaksudkan untuk persembahan dan sebagai simbol kekuatan gaib untuk penolak bala.
a.      Motif sosok utuh
Sosok manusia dilukiskan secara frontal, menghadap ke depan. Kaki dan tangan dengan sikap merentang, ada pula yang seperti belalang sembah. Biasanya ada pada daerah-daerah yang masih primitif. Proporsi manusia dibuat kurus atau sangat langsing berkepala besar dengan tangan dan kaki pendek sehingga pola garis sangat kuat. Bentuk manusia terdistorsi maupun terstilasi sehingga menampakan karakter yang kuat, berdaya ungkap tinggi, ekspresif dan mengandung muatan simbolis. Motif ini tidak berdiri sendiri seringkali dikombinasikan dengan motif lain (Sunaryo, 2006:18).
b.     Motif kedok (topeng) dan kala
Melukiskan bentuk wajah yang di stilisasi, bisa wajah manusai, raksasa maupun binatang. Motif topeng banyak di jumpai di Papua, Kalimantan, Lampung, Batak, Jawa, dan Bali. Motif topeng sudah ada sejak zaman pra-sejarah (lihat Nekara Bulan Pejeng dari Bali), dalam suku Dayak (Kalimantan) mengenal topeng hudog, di suku Batak (Sumatra Utara) terdapat motif bohi-bohi yang berarti wajah manusia. Motif hias yang menggambarkan wajah manusia melambangakan keramahan, kewaspadaan, dan sebagai penolak bala (motif ulu paung/batak toba)
Di Jawa dan Bali motif kala dikaitkan dengan penggambaran wajah manusia/topeng. Kala atau kirttimuka digambarkan sebagai muka raksasa, matanya melotot, mulutnya menyeringai dengan gigi bertaring. Kala di candi Jawa Tengah pada umumnya digambarkan tanpa rahang bawah, rambutnya ikal memancar atau dibentuk dengan stilasi tumbuhan yang meruncing keatas membentuk segitiga. Dalam perkembangannya di candi Jawa Timur dan Bali (disebut karang boma) penggambaran kala semakin realistic dan meninggalakan stilasi tumbuhan, digambarkan mempunyai rahang bawah dengan ekspresi menyeramkan, kadang digambarkan dengan lidah menjulur keluar dari mulut yang bertaring panjang (Sunaryo, 2006:19).
c.      Motif bagian tubuh
Di Sumba, terdapat perhiasan unik yang disebut mamuli yang digunakan sebagai bekal kubur orang yang meninggal, terkadang motif ini juga dipahatkan pada nisan kubur batu. Meskipun bentuknya beragam, terdistorsi, deformasi dan stilasi mamuli sesungguhnya merupakan penggambaran dari alat kelamin perempuan yang melambangkan kesuburan.
Didaerah Sulawesi Tenggara motif sejenis disebut dengan taiganja, sedangkan di Papua disebut cen (kemaluan perempuan) dan cemen (kemaluan laki-laki). Ornament cen merupakan penghormatan dan penghargaan kepada wanita sebagai pusat kehidupan dan perlambang kelahiran. Sedangkan cemen merupakan lambang keberaian, kejantanan dan kepahlawanan.
Selain menggambarkan organ vital, di Papua juga terdapat motif hias lain yang menggambarkan bagian tubuh manusia sepasang tangan dan kaki disebut motif ban dan ama. Motif ban dan ama melambangkan pusat kekuatan, lambang panglima perang atau lambang pemanggil roh nenek moyang (Sunaryo, 2006:21). 
d.     Motif hias Wayang
Merupakan penggambaran roh nenek moyang. Tokoh-tokoh dalam wiracerita Ramayana dan Mahabarata (masuk ke Nusantara bersama dengan pengaruh hindu) meggeser cerita kepahlawanan tokoh nenek moyang lokal bercampur dengan mitos, diolah, dicipta dan berkembang serta dipandang sebagai leluhur masyarakat Jawa dan Bali.
Dari berbagai jenis nya yang berkembang di Nusantara, dari wayang purwa (parwa di Bali), wayang golek, wayang beber, wayang gedog, wayang klitik, dan wayang wong sertayang paling terkenal sekarang adalah wayng kulit.
Penggambaran motif wayang sebagai stilisasi manuasia adalah berkesan pipih, dekoratif, dengan atribut-atribut yang dapat dikenali sebagai tokoh wayang. selainpada rekief candi, motif hias wayang diterapkan pada batik, ukir kayu, keris, kacip dan lain sebagainya (Sunaryo, 2006:22).


Kacippemotong buah pinang

Daftar Pustaka :
1. Sunaryo, Aryo. 2007. Ornamen Nusantara. Semarang : Jurusan Seni Rupa UNNES
2. Gambar diolah dari berbagai sumber.

Motif Hias Non-geometris : Fauna

      1. Motif Binatang Unggas

a.     Motif burung merak
Motif ini banyak digunakan karena burung merak memiliki bentuk dan warna yang indah, ekornya yang panjang biasanya digambarkan terbuka, serta mempunyai leher yang panjang dan kepala berjambul.
Dalam agama Hindu, burung merak dipandang sebagai wahana dewa perang Batara Skanda/Kartikeya atau juga kendaraan dewi Parwati. Merupakan perlambang dunia atas, kesucian dan kebahagian.
Pada Gapura Agung di Tamansari Yogyakarta, terdapat motif burung merak yang digambarakan setangkup menghadap tengah sedang menghisap sekuntum bunga (lajering sekar sinesep peksi) merupakan sengkalan menandai pembangunan Tamansari tahun 1691 J/1757 M (Sunaryo, 2006:26).
b.     Motif burung enggang
Burung enggang/rangkong/taon-taon hidup terutama di daerah Kalimantan, Sulawesi dan Papua, memiliki ukuran yang besar dengan dengan sayap lebar setara dengan burung elang. Burung enggang memiliki paruh besar berwarna kuning mencolok yang melengkung kontras dengan bulunya yang hitam. Di Kalimantan, suku Dayak men-stilasi motif ini menjadi motif sulur yang melengkung-lengkung, dijadikan simbol kesetiaan dan keberanian (Sunaryo, 2006:26).
 
c.      Motif garuda
Burung garuda merupakan burung mitos yang sangat terkenal, bahkan dijadikan sebagai lambang negara. Dalam kepercayaan Hindu, garuda adalah kendaraan Wisnu dan karena itu diupandang sebagai burung keramat dan sakti. Raja Erlangga yang dipandang sebagai dewa Wisnu digambarkan menaiki garuda, kemudia di Bali bentuk semacam ini digambarkan sebagai Garuda Wisnu Kencana. Motif burung garuda banyak ditemui sebagai pahatan di candi-candi Jawa Timur, antara lain candi Kidal, candi Sukuh. 
 
Selain itu juga diterapkan pada blencong (lampu  di atas dalang wayang kulit yang fungsinya menyorot wayang sehingga menghasilakan bayangan dibalik layar. 
 
Motif garuda dalam batuk disebut grudha/gurdha yang seringkali digambarkan hanya berbentuk sayap, (1) hanya satu sayap disebut lar (2) dua sayap yang setangkup disebut mirong (3) dua sayap dan ekor disebut sawat (Sunaryo, 2006:27).
d.     Motif burung phunix
Motif ini berasal dari China yang diagggap sebagai burung mitos, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah yang melakukan kontak dengan China terutama di pesisir utara Jawa misal di Cirebon (batik lukcan), Pekalongan (batik pangsi), Lasem juga sampai di Bali.
Dalam penggambarannya motif phunix sangat mirip dengan burung merak, akan tetapi ciri khas yang menonjol ialah pada ekornya yang panjang berjuntai merumbai tanpa bulatan. Motif hias burung phunix ini ditetapkan sebagai burung surga sesuai dengan lambang dunia atas/langit (Sunaryo, 2006:28).

e.      Motif ayam jantan
Motif ini terdapat di beberapa daerah di Nusantara antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, Sumba dan Sulawesi. Motif ini diterapkan pada kain tenun ikat dan songket, batik, ukiran bumbungan atap rumah,dll. Motif ayam jantan merupakan perlambang matahari, karena dihubungkan dengan kokok ayanm menjelang matahari terbit.pada umumnya motif ini melambangkan kekuatan, keberanian, dan kesuburan.
 
Di Riau (Sumatra) terdapat motif ayam berlaga (sabung ayam) yang ditempatkan di bawah anak tangga yang selalu diinjak mengandung makna simbolik menjunjung tinggi rasa persatuan dan persahabatan, pertengkaran dan permusuhan antar sesama sangat dihinakan sebagaimana motif ini yang selalu diinjak-injak.
Masyarakat suku Toraja menggunakan motif ini yang disebut dengan pa’manuk londong yang ditempatkan pada dinding rumah paling atas pada rumah adat tongkonan, digambarkan diatas motif hias matahari (pa’barre allo), melambangkan hukum dan aturan adat harus dipatuhi dan dijunjung tinggi, dan selalu berpijak dengan nilai/norma ketuhanan (Sunaryo, 2006:29).
f.      Motif burung nuri dan unggas lainnya
Motif burung nuri mendapat pengaruh Hindu dan digambarkan sebagai burung pengantar surat dewa Kamajaya kepada kekasihnya dewi Ratih sehingga dikaitkan dengan lambang komunikasi dan cinta.
Motif hias unggas lainnya ialah itik, bangau, merpati dan burung imajenatif lainnya, baik yang di stilasi dekoratif (batik non-pesisiran) maupun yang digambarkan lebih realitis (batik lasem dan ukir cirebon) (Sunaryo, 2006:30).
2.      Motif Binatang Air dan Melata
a.     Motif ikan dan binatang air
Di daerah Sumba motif ikan menjadi bagian motif yang dipahatkan pada kubur batu bersama motif-motif yang lainnya. Motif udang pada kain hinggi Sumba melambangkan peralihan tingkatan dalam kehidupan manusia seperti udang yang berganti kulit dalam siklus hidupnya.
Pada batik pesisiran motif udang dan kepiting muncul di daerah Juwana Pati Jawa Tengah bahkan menjadi motif khas daerah tersebut. 
Di dearah Bengkulu Sumatra terdapat motif bada mudiak (ikan teri mudik) yang berbentuK abstrak melambangkan kehidupan.
Motif hias katak ditemukan pada nekara perunggu yang dipasang pada bidang pukulnya, para ahli menyimpulkan hiasan katai ini sebagai lambang permohonan hujan.
Motif penyu atau kura-kura ditemukan pada peti kubur batu (sarkofagus) di museum purbakala Pejeng, Bedulu, Bali yang dipahat tangan dan kakinya menyerupai manusia. Kura-kura dalam kepercayaan hindu adalah avatara dewa Wisnu. Di candi Sukuh bahkan terdapat pahatan batu besar tiga kura-kura raksasa yang punggungnya datar terletak didepan bangunan utama (Sunaryo, 2006:33).
 

b.     Motif hias naga
Motif ini merupakan lambang dunia bawah, air, kesuburan, wanita dan kesaktian, sudah ada sebelum masa Hindu dan tetap digemari pada masa setelahnya.
Dalam kisah pewayangan naga adalah raja/ dewa ular dikenal dengan Antaboga yang digambarkan naga yang memakai mahkota, yang kemudian menjadi ikon kesultanan Yogyakarta dan banyak mengisi ornament bangunan keraton.
Di Bali hiasan naga biasanya dipahatkan pada pipi tangga memasuki pura. Sama dengan yang ada di Jawa, motif naga bali merupakan penggambaran raja ular yang bermahkota akan tetapi ada kalanya di pengaruhi kebudayaan China yang digambarkan bertanduk, berjanggut, bersungut, bersisik, bersirip punggung dan berkaki empat. Hal ini juga ditemukan pada tenun ikat Sumba, motif hias naga digambarkan ekornya bercabang, bermahkota atau bertanduk berkaki (Sunaryo, 2006:37).
c.      Motif buaya, biawak, dan kadal
Motif-motif tersebut dipandang bernilai magis dan dipercaya sebagai penjelmaan dewa atau roh nenek moyang. Di Sulawesi motif buaya dijadikan peghias rumah dan dipercayai sebagai tempat bersemayamnya jiwa orang yang telah meninggal.
Hiasan serupa juga terdapat pada rumah adat Nias, Sumatra Utara yang disebut niobuaya yang melambangkan kekuasaan raja yang adil dan pelindung bagirakyat.
Sedangkan motif Kadal atau cicak terdapat pada rumah adat Batak yang disebut motif hias boraspati.
Motif hias biawak (dalam bahasa Jawa : menyawak/slira/salira) dijumpai pada gerbang Bangsal Pagelaran keraton Yogyakarta yang dipadukan dengan lima ekor lebah (sengkalan panca gana salira tunggal 1865 J)
Sedangkan di gerbang Danapatra dipadukan dengan motif daun kluwih, kepala raksasa dan symbol keraton Yogyakarta (sengkalan kaluwihaning yaksa salira aji 1851) (Sunaryo, 2006:38).
d.     Motif siput, lipan, dan kalajengking
Motif siput merupakan atribut dewa Wisnu. Ornament bagas godang pada bangunan Batak Mandailing terdapat motif lipan lurus didudun simetris dipadu dengan motif kalajengking. Lipan dan kalajengking sebagai binatang berbisa sebagai simbol kesaktian dan penolak bala (Sunaryo, 2006:39).
3.      Motif Binatang Darat dan Makhluk Imajinatif
a.      Motif kerbau
Sebagai lambang kesuburan dan penolak yang jahat, tanduknya dihubungkan dengan bulan sabit yang melengkung. Di Sumba motif kerbau biasanya digambarkan dengan motif burung diatasnya yang melambangkan dunia atas dan bawah serta gotong royong. Motif hias kerbau dan manusia pada tenun asal lampung melambangkan binatang tersebut sebagai kendaraan arwah nenek moyang di alam akhirat.
Selain itu yang termasuk kedalam motif kerbau adalah motif sapi dan banteng karena betuknya hampir serupa. Dalam agama Hindu binatang sapi (lembu andini/nandi) disucikan karena dianggap kendaraan (tunggangan/wahana) dewa Syiwa.
Motif banteng dapat dijumpai pada gerbang keraton Kasepuhan Cirebon yang dipahatkan pada dinding tangga benteng yang terbuat dari bata merah (sengkalan banteng tinata bata kuta 1347 Saka = 1425 M) (Sunaryo, 2006:41).
b.     Motif kuda
Motif hias kuda masuk ke Indonesia bersama dengan kebudayaan Dongson. Melambangkan ketaatan yang paling utama dan lambang keperkasaan. Di Sumba, Kuda tunggangan pilihan disebut njara madewa yang berarti sehidup semati yang juga menjadi tunggangan majikannya di alam baka. Oleh karena itu motif kuda juga dipahatkan di batu kubur, dan motif kuda menjadi motif yang paling penting dalam tenun Sumba.
Dalam mitologi Hindu, kuda merupakan kendaraan/wahana dewa matahari (Bathara Surya) yang digambarkan bertelinga panjang menyerupai kelinci. Pada relief candi Borobudhur juga dipahatkan relief kuda yang digambarkan realistis ditunggangi pangeran Sidharta (Sunaryo, 2006:42).
c.      Motif gajah
Gajah merupakan binatang yang besar dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Dalam agama Hindu, gajah merupakan lambang kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan, keadilan, kebesaran serta kekuatan. Motif gajah digambar sangat realistis pada relief candi Borobudhur, hal ini menunjukan bahwa gajah telah lama digunakan para raja sebagai kendaraan/tunggangan.
Di kasultanan Yogyakarta motif gajah dipahatkan pada sebuah prasasti, dan juga motif kepala gajah yang belalianya membelit anak panah pada dinding atas gerbang Danapatra.
Motif gajah yang menarik lainnya ada pada candi Penataran Jawa Timur yang berbentuk medallion, pada bagian ekornya berlanjut dengan motif tumbuhan.
Selain itu, motif gajah unik yang lain terdapat pada masjid mantingan Jepara pada periode awal islam, motif gajah tersebut tersusun dari kumpulan motif tumbuhan yang membentuk kepala, belalai, telinga, gading badan dan kaki yang tersamarkan bentuk tumbuhan dalam  bingkai (Sunaryo, 2006:43).
d.     Motif singa
Motif hias singa datang ke Nusantara bersama degan kebudayaan Hindu-Budha, kemudian mendapat pengaruh bangsa Eropa melalui panji-panji zaman kolonialisme. Dalam agama Hindu, Durga istri Syiwa sebagai Kali/Bhairawi dilukiskan mengendarai singa.
Dalam agama Budha, singa sebagai lambang binatang suci, lambang keberanian dan kekuatan.
Motif hias singa di candi borobudhur difungsikan sebagai dwarapala yakni patung penjaga pintu candi juga dipahatkan sebagai relief yang ekornya disambungkan dengan motif sulur (Sunaryo, 2006:44).
e.      Motif rusa
Di Bali, rumah suci untuk dewa dalam pura desa dihias dengan menggunakan motif kepala rusa.hewan ini dianggap memiliki usia hidup yang panjang sehingga digunakan sebagai lambang kelestarian.
Motif rusa juga dipahatkan di relief karmawibanga candi Borobudhur bersama hewan kera lembu dan kuda.
Selain itu,
 di masjid Sendangduwur Lamongan Jawa Timur terdapat motif kala marga pada gerbang paduraksa bersayap yang dilanjutkan dengan motif kepala rusa (Sunaryo, 2006:46).
f.      Motif binatang khayali atau makhluk imajinatif
Motif hias makhluk imajenatif  kebudayaan Hindu Jawa ialah makara dan kinara-kinari. Makara berbentuk kepalanya seperti ikan yang mempunyai belalai seperti gajah dan tubuhnya panjang seperti naga.
Motif hias kinara-kinari berbentuk kepala manusia berbadan burung. Biasanya digambarkan sepasang (laki-laki dan perempuan), sementara itu diatara keduannnya terdapat motif pohon kalpataru (pohon khayangan/surga) selanjutnya berubah menjadi pohon hayat (pohon kehidupan).
Di Bali terdapat motif yang disebut dengan gajah mina yang berarti gabungan dari hewan gajah dan ikan, kepalanya berupa kepala gajah berbelalai dengan tubuh ikan. Motif ini erat hubangannya dengan motif makara namun dengan bentuk lain.
Pada kebudayaan khas Cirebon terdapat motif hias prabangsa dan naga liman yang termasuk dalam makhluk imajenatif. Prabangsa merupakan motif hewan gabungan dari singa, burung dan gajah, sedangkan naga liman gabungan antara naga China (liong) dengan gajah. Bahkan kereta kebesaran keratin Kasepuhan Cirebon bermotif singa barong dan peksi naga liman yang secara simbolis merupakan penggabungan tiga kebudayaan besar yang ada di Cirebon. Makhluk ini berwujud singa berkepala naga bertanduk (liong China), bermoncong belalai gajah (Hindu India), serta berbadan kuda bersayap seperti buraq (kebudayan Islam Arab).
Motif lain yang menyerupai peksi nogo liman adalah lembuswana. Hewan ini telah menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Lembuswana ialah makhluk berwarna keemasan yang identik dengan kawasan Kutai Kartanegara. dan masuk dalam mitologi rakyat Kutai yang disucikan karena merupakan tunggangan Mulawarman, yang menjadi seorang Raja Kutai sekitar 1.500 tahun silam. Lembuswana atau juga dikenal dengan nama Paksi Liman Jonggo Yokso berwujud seperti binatang lembu atau sapi yang memiliki belalai dan bertaring seperti gajah. Mempunyai sayap seperti burung, serta kuku dan taji seperti ayam jantan, bersisik seperti naga, dan bermahkota.
Motif buraq melukiskan makhluk imajenatif berbentuk kuda bersayap, berkepala manusia, dan berekor merak. Motif ini dikenal dalam kebudayaan Islam yang terdapat di Aceh dan Cirebon (Sunaryo, 2006:47).



Daftar Pustaka :
1. Sunaryo, Aryo. 2007. Ornamen Nusantara. Semarang : Jurusan Seni Rupa UNNES
2. Gambar diolah dari berbagai sumber.