- Motif Binatang Unggas
a. Motif burung merak
Motif ini banyak digunakan karena burung merak memiliki bentuk dan warna yang indah, ekornya yang panjang biasanya digambarkan terbuka, serta mempunyai leher yang panjang dan kepala berjambul.
Dalam agama Hindu, burung merak dipandang sebagai wahana dewa perang Batara Skanda/Kartikeya atau juga kendaraan dewi Parwati. Merupakan perlambang dunia atas, kesucian dan kebahagian.
Dalam agama Hindu, burung merak dipandang sebagai wahana dewa perang Batara Skanda/Kartikeya atau juga kendaraan dewi Parwati. Merupakan perlambang dunia atas, kesucian dan kebahagian.
Pada Gapura Agung di Tamansari Yogyakarta, terdapat motif burung merak yang digambarakan setangkup menghadap tengah sedang menghisap sekuntum bunga (lajering sekar sinesep peksi) merupakan sengkalan menandai pembangunan Tamansari tahun 1691 J/1757 M (Sunaryo, 2006:26).
b. Motif burung enggang
Burung enggang/rangkong/taon-taon hidup terutama di daerah Kalimantan, Sulawesi dan Papua, memiliki ukuran yang besar dengan dengan sayap lebar setara dengan burung elang. Burung enggang memiliki paruh besar berwarna kuning mencolok yang melengkung kontras dengan bulunya yang hitam. Di Kalimantan, suku Dayak men-stilasi motif ini menjadi motif sulur yang melengkung-lengkung, dijadikan simbol kesetiaan dan keberanian (Sunaryo, 2006:26).
c. Motif garuda
Burung garuda merupakan burung mitos yang sangat terkenal, bahkan dijadikan sebagai lambang negara. Dalam kepercayaan Hindu, garuda adalah kendaraan Wisnu dan karena itu diupandang sebagai burung keramat dan sakti. Raja Erlangga yang dipandang sebagai dewa Wisnu digambarkan menaiki garuda, kemudia di Bali bentuk semacam ini digambarkan sebagai Garuda Wisnu Kencana. Motif burung garuda banyak ditemui sebagai pahatan di candi-candi Jawa Timur, antara lain candi Kidal, candi Sukuh.
Selain itu juga diterapkan pada blencong (lampu di atas dalang wayang kulit yang fungsinya menyorot wayang sehingga menghasilakan bayangan dibalik layar.
Motif garuda dalam batuk disebut grudha/gurdha yang seringkali digambarkan hanya berbentuk sayap, (1) hanya satu sayap disebut lar (2) dua sayap yang setangkup disebut mirong (3) dua sayap dan ekor disebut sawat (Sunaryo, 2006:27).
d. Motif burung phunix
Motif ini berasal dari China yang diagggap sebagai burung mitos, yang kemudian menyebar ke daerah-daerah yang melakukan kontak dengan China terutama di pesisir utara Jawa misal di Cirebon (batik lukcan), Pekalongan (batik pangsi), Lasem juga sampai di Bali.
Dalam penggambarannya motif phunix sangat mirip dengan burung merak, akan tetapi ciri khas yang menonjol ialah pada ekornya yang panjang berjuntai merumbai tanpa bulatan. Motif hias burung phunix ini ditetapkan sebagai burung surga sesuai dengan lambang dunia atas/langit (Sunaryo, 2006:28).
e. Motif ayam jantan
Motif ini terdapat di beberapa daerah di Nusantara antara lain di Sumatra, Jawa, Bali, Sumba dan Sulawesi. Motif ini diterapkan pada kain tenun ikat dan songket, batik, ukiran bumbungan atap rumah,dll. Motif ayam jantan merupakan perlambang matahari, karena dihubungkan dengan kokok ayanm menjelang matahari terbit.pada umumnya motif ini melambangkan kekuatan, keberanian, dan kesuburan.
Di Riau (Sumatra) terdapat motif ayam berlaga (sabung ayam) yang ditempatkan di bawah anak tangga yang selalu diinjak mengandung makna simbolik menjunjung tinggi rasa persatuan dan persahabatan, pertengkaran dan permusuhan antar sesama sangat dihinakan sebagaimana motif ini yang selalu diinjak-injak.
Masyarakat suku Toraja menggunakan motif ini yang disebut dengan pa’manuk londong yang ditempatkan pada dinding rumah paling atas pada rumah adat tongkonan, digambarkan diatas motif hias matahari (pa’barre allo), melambangkan hukum dan aturan adat harus dipatuhi dan dijunjung tinggi, dan selalu berpijak dengan nilai/norma ketuhanan (Sunaryo, 2006:29).
f. Motif burung nuri dan unggas lainnya
Motif burung nuri mendapat pengaruh Hindu dan digambarkan sebagai burung pengantar surat dewa Kamajaya kepada kekasihnya dewi Ratih sehingga dikaitkan dengan lambang komunikasi dan cinta.
Motif hias unggas lainnya ialah itik, bangau, merpati dan burung imajenatif lainnya, baik yang di stilasi dekoratif (batik non-pesisiran) maupun yang digambarkan lebih realitis (batik lasem dan ukir cirebon) (Sunaryo, 2006:30).
2. Motif Binatang Air dan Melata
a. Motif ikan dan binatang air
Di daerah Sumba motif ikan menjadi bagian motif yang dipahatkan pada kubur batu bersama motif-motif yang lainnya. Motif udang pada kain hinggi Sumba melambangkan peralihan tingkatan dalam kehidupan manusia seperti udang yang berganti kulit dalam siklus hidupnya.
Pada batik pesisiran motif udang dan kepiting muncul di daerah Juwana Pati Jawa Tengah bahkan menjadi motif khas daerah tersebut.
Di dearah Bengkulu Sumatra terdapat motif bada mudiak (ikan teri mudik) yang berbentuK abstrak melambangkan kehidupan.
Motif hias katak ditemukan pada nekara perunggu yang dipasang pada bidang pukulnya, para ahli menyimpulkan hiasan katai ini sebagai lambang permohonan hujan.
Motif penyu atau kura-kura ditemukan pada peti kubur batu (sarkofagus) di museum purbakala Pejeng, Bedulu, Bali yang dipahat tangan dan kakinya menyerupai manusia. Kura-kura dalam kepercayaan hindu adalah avatara dewa Wisnu. Di candi Sukuh bahkan terdapat pahatan batu besar tiga kura-kura raksasa yang punggungnya datar terletak didepan bangunan utama (Sunaryo, 2006:33).
b. Motif hias naga
Motif ini merupakan lambang dunia bawah, air, kesuburan, wanita dan kesaktian, sudah ada sebelum masa Hindu dan tetap digemari pada masa setelahnya.
Dalam kisah pewayangan naga adalah raja/ dewa ular dikenal dengan Antaboga yang digambarkan naga yang memakai mahkota, yang kemudian menjadi ikon kesultanan Yogyakarta dan banyak mengisi ornament bangunan keraton.
Di Bali hiasan naga biasanya dipahatkan pada pipi tangga memasuki pura. Sama dengan yang ada di Jawa, motif naga bali merupakan penggambaran raja ular yang bermahkota akan tetapi ada kalanya di pengaruhi kebudayaan China yang digambarkan bertanduk, berjanggut, bersungut, bersisik, bersirip punggung dan berkaki empat. Hal ini juga ditemukan pada tenun ikat Sumba, motif hias naga digambarkan ekornya bercabang, bermahkota atau bertanduk berkaki (Sunaryo, 2006:37).
c. Motif buaya, biawak, dan kadal
Motif-motif tersebut dipandang bernilai magis dan dipercaya sebagai penjelmaan dewa atau roh nenek moyang. Di Sulawesi motif buaya dijadikan peghias rumah dan dipercayai sebagai tempat bersemayamnya jiwa orang yang telah meninggal.
Hiasan serupa juga terdapat pada rumah adat Nias, Sumatra Utara yang disebut niobuaya yang melambangkan kekuasaan raja yang adil dan pelindung bagirakyat.
Sedangkan motif Kadal atau cicak terdapat pada rumah adat Batak yang disebut motif hias boraspati.
Motif hias biawak (dalam bahasa Jawa : menyawak/slira/salira) dijumpai pada gerbang Bangsal Pagelaran keraton Yogyakarta yang dipadukan dengan lima ekor lebah (sengkalan panca gana salira tunggal 1865 J)
Sedangkan di gerbang Danapatra dipadukan dengan motif daun kluwih, kepala raksasa dan symbol keraton Yogyakarta (sengkalan kaluwihaning yaksa salira aji 1851) (Sunaryo, 2006:38).
d. Motif siput, lipan, dan kalajengking
Motif siput merupakan atribut dewa Wisnu. Ornament bagas godang pada bangunan Batak Mandailing terdapat motif lipan lurus didudun simetris dipadu dengan motif kalajengking. Lipan dan kalajengking sebagai binatang berbisa sebagai simbol kesaktian dan penolak bala (Sunaryo, 2006:39).
3. Motif Binatang Darat dan Makhluk Imajinatif
a. Motif kerbau
Sebagai lambang kesuburan dan penolak yang jahat, tanduknya dihubungkan dengan bulan sabit yang melengkung. Di Sumba motif kerbau biasanya digambarkan dengan motif burung diatasnya yang melambangkan dunia atas dan bawah serta gotong royong. Motif hias kerbau dan manusia pada tenun asal lampung melambangkan binatang tersebut sebagai kendaraan arwah nenek moyang di alam akhirat.
Selain itu yang termasuk kedalam motif kerbau adalah motif sapi dan banteng karena betuknya hampir serupa. Dalam agama Hindu binatang sapi (lembu andini/nandi) disucikan karena dianggap kendaraan (tunggangan/wahana) dewa Syiwa.
Motif banteng dapat dijumpai pada gerbang keraton Kasepuhan Cirebon yang dipahatkan pada dinding tangga benteng yang terbuat dari bata merah (sengkalan banteng tinata bata kuta 1347 Saka = 1425 M) (Sunaryo, 2006:41).
b. Motif kuda
Motif hias kuda masuk ke Indonesia bersama dengan kebudayaan Dongson. Melambangkan ketaatan yang paling utama dan lambang keperkasaan. Di Sumba, Kuda tunggangan pilihan disebut njara madewa yang berarti sehidup semati yang juga menjadi tunggangan majikannya di alam baka. Oleh karena itu motif kuda juga dipahatkan di batu kubur, dan motif kuda menjadi motif yang paling penting dalam tenun Sumba.
Dalam mitologi Hindu, kuda merupakan kendaraan/wahana dewa matahari (Bathara Surya) yang digambarkan bertelinga panjang menyerupai kelinci. Pada relief candi Borobudhur juga dipahatkan relief kuda yang digambarkan realistis ditunggangi pangeran Sidharta (Sunaryo, 2006:42).
c. Motif gajah
Gajah merupakan binatang yang besar dan memiliki kekuatan yang luar biasa. Dalam agama Hindu, gajah merupakan lambang kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan, keadilan, kebesaran serta kekuatan. Motif gajah digambar sangat realistis pada relief candi Borobudhur, hal ini menunjukan bahwa gajah telah lama digunakan para raja sebagai kendaraan/tunggangan.
Di kasultanan Yogyakarta motif gajah dipahatkan pada sebuah prasasti, dan juga motif kepala gajah yang belalianya membelit anak panah pada dinding atas gerbang Danapatra.
Motif gajah yang menarik lainnya ada pada candi Penataran Jawa Timur yang berbentuk medallion, pada bagian ekornya berlanjut dengan motif tumbuhan.
Selain itu, motif gajah unik yang lain terdapat pada masjid mantingan Jepara pada periode awal islam, motif gajah tersebut tersusun dari kumpulan motif tumbuhan yang membentuk kepala, belalai, telinga, gading badan dan kaki yang tersamarkan bentuk tumbuhan dalam bingkai (Sunaryo, 2006:43).
d. Motif singa
Motif hias singa datang ke Nusantara bersama degan kebudayaan Hindu-Budha, kemudian mendapat pengaruh bangsa Eropa melalui panji-panji zaman kolonialisme. Dalam agama Hindu, Durga istri Syiwa sebagai Kali/Bhairawi dilukiskan mengendarai singa.
Dalam agama Budha, singa sebagai lambang binatang suci, lambang keberanian dan kekuatan.
Motif hias singa di candi borobudhur difungsikan sebagai dwarapala yakni patung penjaga pintu candi juga dipahatkan sebagai relief yang ekornya disambungkan dengan motif sulur (Sunaryo, 2006:44).
e. Motif rusa
Di Bali, rumah suci untuk dewa dalam pura desa dihias dengan menggunakan motif kepala rusa.hewan ini dianggap memiliki usia hidup yang panjang sehingga digunakan sebagai lambang kelestarian.
Motif rusa juga dipahatkan di relief karmawibanga candi Borobudhur bersama hewan kera lembu dan kuda.
Selain itu, di masjid Sendangduwur Lamongan Jawa Timur terdapat motif kala marga pada gerbang paduraksa bersayap yang dilanjutkan dengan motif kepala rusa (Sunaryo, 2006:46).
f. Motif binatang khayali atau makhluk imajinatif
Motif hias makhluk imajenatif kebudayaan Hindu Jawa ialah makara dan kinara-kinari. Makara berbentuk kepalanya seperti ikan yang mempunyai belalai seperti gajah dan tubuhnya panjang seperti naga.
Motif hias kinara-kinari berbentuk kepala manusia berbadan burung. Biasanya digambarkan sepasang (laki-laki dan perempuan), sementara itu diatara keduannnya terdapat motif pohon kalpataru (pohon khayangan/surga) selanjutnya berubah menjadi pohon hayat (pohon kehidupan).
Di Bali terdapat motif yang disebut dengan gajah mina yang berarti gabungan dari hewan gajah dan ikan, kepalanya berupa kepala gajah berbelalai dengan tubuh ikan. Motif ini erat hubangannya dengan motif makara namun dengan bentuk lain.
Pada kebudayaan khas Cirebon terdapat motif hias prabangsa dan naga liman yang termasuk dalam makhluk imajenatif. Prabangsa merupakan motif hewan gabungan dari singa, burung dan gajah, sedangkan naga liman gabungan antara naga China (liong) dengan gajah. Bahkan kereta kebesaran keratin Kasepuhan Cirebon bermotif singa barong dan peksi naga liman yang secara simbolis merupakan penggabungan tiga kebudayaan besar yang ada di Cirebon. Makhluk ini berwujud singa berkepala naga bertanduk (liong China), bermoncong belalai gajah (Hindu India), serta berbadan kuda bersayap seperti buraq (kebudayan Islam Arab).
Motif lain yang menyerupai peksi nogo liman adalah lembuswana. Hewan ini telah menjadi lambang Kerajaan Kutai hingga Kesultanan Kutai Kartanegara. Lembuswana ialah makhluk berwarna keemasan yang identik dengan kawasan Kutai Kartanegara. dan masuk dalam mitologi rakyat Kutai yang disucikan karena merupakan tunggangan Mulawarman, yang menjadi seorang Raja Kutai sekitar 1.500 tahun silam. Lembuswana atau juga dikenal dengan nama Paksi Liman Jonggo Yokso berwujud seperti binatang lembu atau sapi yang memiliki belalai dan bertaring seperti gajah. Mempunyai sayap seperti burung, serta kuku dan taji seperti ayam jantan, bersisik seperti naga, dan bermahkota.
Motif buraq melukiskan makhluk imajenatif berbentuk kuda bersayap, berkepala manusia, dan berekor merak. Motif ini dikenal dalam kebudayaan Islam yang terdapat di Aceh dan Cirebon (Sunaryo, 2006:47).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar